Penulis : Zulia Ilmawati. Psikolog Pemerhati Masalah Anak dan Remaja. Diambil dari Onesaiful.blogspot.com.)
Ahad, 18 Jul 2010
Perdebatan
tentang perlu-tidaknya pendidikan seks diberikan kepada anak bermula
dari keprihatinan terhadap pergaulan remaja saat ini. Para pemerhati
masalah remaja berpendapat, seks bebas yang sekarang ini menggejala
salah satunya disebabkan karena pengetahuan remaja tentang seksualitas
masih sangat rendah. Karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk
memasyarakatkan pendidikan seks kepada remaja. Program-program
pendidikan seks pun mulai digulirkan, bahkan ada yang berpendapat bahwa
pendidikan seks seharusnya diberikan sedini mungkin. Jika perlu, di
bangku prasekolah pun ada kurikulum yang membahas khusus tentang
pendidikan seks. Benarkah sepenting itu pendidikan seks bagi anak?
Bagaimana Islam memandang persoalan ini? Apa itu Pendidikan Seks?
Ada
banyak pengertian tentang apa itu pendidikan seks, bergantung pada
sudut pandang yang dipakai. Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan,
pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan
tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak sejak ia
mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan
perkawinan. Dengan begitu, jika anak telah dewasa, ia akan dapat
mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan; bahkan mampu
menerapkan perilaku islami dan tidak akan memenuhi naluri seksualnya
dengan cara-cara yang tidak islami.
Pendidikan
seks di dalam Islam merupakan bagian integral dari pendidikan akidah,
akhlak, dan ibadah. Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu
akan menyebabkan ketidakjelasan arah dari pendidikan seks itu sendiri,
bahkan mungkin akan menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan
asal manusia melakukan kegiatan seksual dalam rangka pengabdian kepada
Allah. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan seks tidak boleh menyimpang dari tuntutan syariat Islam.
Siapa
yang Bertanggung Jawab? Orangtua manapun tentu selalu menginginkan
anaknya menjadi anak yang baik. Anak adalah generasi yang diciptakan
untuk kehidupan masa depan. Sepantasnyalah orangtua memberikan bekal
berupa pendidikan yang menyeluruh, termasuk pendidikan seks. Orangtua
dituntut memiliki kepekaan, keterampilan, dan pemahaman agar mampu
memberi informasi dalam porsi tertentu, yang justru tidak membuat anak
semakin bingung atau penasaran.
Orangtua
adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak dalam masalah
pendidikan, termasuk pendidikan seks. Jadi, dalam hal ini, sesungguhnya
tidak mutlak diperlukan adanya kurikulum khusus tentang pendidikan seks
di sekolah-sekolah.
Pokok-Pokok Pendidikan Seks Perspektif Islam
Di antara pokok-pokok pendidikan seks yang bersifat praktis, yang perlu diterapkan dan diajarkan kepada anak adalah :
1. Menanamkan rasa malu pada anak.
Rasa
malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan
anak-anak, walau masih kecil, bertelanjang di depan orang lain; misalnya
ketika keluar kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya.
Membiasakan anak perempuan sejak kecil berbusana Muslimah menutup aurat
juga penting untuk menanamkan rasa malu sekaligus mengajari anak tentang
auratnya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas pada anak perempuan.
Secara
fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan
mendasar. Perbedaan tersebut telah diciptakan sedemikian rupa oleh
Allah. Adanya perbedaan ini bukan untuk saling merendahkan, namun
semata-mata karena fungsi yang berbeda yang kelak akan diperankannya.
Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah memberikan tuntunan agar
masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki
agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, dan perempuan memiliki
kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai
laki-laki, begitu juga sebaliknya. Untuk itu, harus dibiasakan dari
kecil anak-anak berpakaian sesuai dengan jenis kelaminnya.
Mereka juga harus diperlakukan sesuai dengan jenis kelaminnya. Ibnu Abbas ra. Berkata :
Rasulullah saw. melaknat laki-laki yang berlagak wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki. (HR al-Bukhari).
3. Memisahkan tempat tidur mereka.
Usia
antara 7-10 tahun merupakan usia saat anak mengalami perkembangan yang
pesat. Anak mulai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya
berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar
dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan
kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat
tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orangtuanya, setidaknya anak
telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar
melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orangtuanya.
Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya
yang berbeda jenis kelamin, secara langsung ia telah ditumbuhkan
kesadarannya tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung (meminta izin dalam 3 waktu).
Tiga
ketentuan waktu yang tidak diperbolehkan anak-anak untuk memasuki
ruangan (kamar) orang dewasa kecuali meminta izin terlebih dulu adalah:
sebelum shalat subuh, tengah hari, dan setelah shalat isya. Aturan ini
ditetapkan mengingat di antara ketiga waktu tersebut merupakan waktu
aurat, yakni waktu ketika badan atau aurat orang dewasa banyak terbuka
(Lihat: QS al-Ahzab [33]: 13). Jika pendidikan semacam ini ditanamkan
pada anak maka ia akan menjadi anak yang memiliki rasa sopan-santun dan
etika yang luhur.
5. Mendidik menjaga kebersihan alat kelamin.
Mengajari
anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat
sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan
untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Dengan cara ini akan
terbentuk pada diri anak sikap hati-hati, mandiri, mencintai kebersihan,
mampu menguasai diri, disiplin, dan sikap moral yang memperhatikan
tentang etika sopan santun dalam melakukan hajat.
6. Mengenalkan mahram-nya.
Tidak
semua perempuan berhak dinikahi oleh seorang laki-laki. Siapa saja
perempuan yang diharamkan dan yang dihalalkan telah ditentukan oleh
syariat Islam. Ketentuan ini harus diberikan pada anak agar ditaati.
Dengan memahami kedudukan perempuan yang menjadi mahram, diupayakan agar
anak mampu menjaga pergaulan sehari-harinya dengan selain wanita yang
bukan mahram-nya. Inilah salah satu bagian terpenting dikenalkannya
kedudukan orang-orang yang haram dinikahi dalam pendidikan seks anak.
Dengan demikian dapat diketahui dengan tegas bahwa Islam mengharamkan
incest, yaitu pernikahan yang dilakukan antar saudara kandung atau
mahram-nya. Siapa saja mahram tersebut, Allah Swt telah menjelaskannya
dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 22-23.
7. Mendidik anak agar selalu menjaga pandangan mata.
Telah
menjadi fitrah bagi setiap manusia untuk tertarik dengan lawan
jenisnya. Namun, jika fitrah tersebut dibiarkan bebas lepas tanpa
kendali, justru hanya akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Begitu
pula dengan mata yang dibiarkan melihat gambar-gambar atau film yang
mengandung unsur pornografi. Karena itu, jauhkan anak-anak dari gambar,
film, atau bacaan yang mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
8. Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilât.
Ikhtilât
adalah bercampur-baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tanpa
adanya keperluan yang diboleh-kan oleh syariat Islam. Perbuatan
semacam ini pada masa sekarang sudah dinggap biasa. Mereka bebas
mengumbar pandangan, saling berdekatan dan bersentuhan; seolah tidak ada
lagi batas yang ditentukan syariah guna mengatur interaksi di antara
mereka. Ikhtilât dilarang karena interaksi semacam ini bisa menjadi
mengantarkan pada perbuatan zina yang diharamkan Islam. Karena itu,
jangan biasakan anak diajak ke tempat-tempat yang di dalamnya terjadi
percampuran laki-laki dan perempuan secara bebas.
9. Mendidik anak agar tidak melakukan khalwat.
Dinamakan khalwat jika seorang laki-laki dan wanita bukan mahram-nya berada di suatu tempat, hanya berdua saja. Biasanya
mereka memilih tempat yang tersembunyi, yang tidak bisa dilihat oleh
orang lain. Sebagaimana ikhtilât, khalwat pun merupakan perantara bagi
terjadinya perbuatan zina. Anak-anak sejak kecil harus diajari untuk
menghindari perbuatan semacam ini. jika bermain, bermainlah dengan
sesama jenis. Jika dengan yang berlainan jenis, harus diingatkan untuk
tidak ber-khalwat.
10. Mendidik etika berhias.
Berhias,
jika tidak diatur secara islami, akan menjerumuskan seseorang pada
perbuatan dosa. Berhias berarti usaha untuk memperindah atau
mempercantik diri agar bisa berpenampilan menawan. Tujuan pendidikan
seks dalam kaitannya dengan etika berhias adalah agar berhias tidak
untuk perbuatan maksiat.
11. Ihtilâm dan haid.
Ihtilâm
adalah tanda anak laki-laki sudah mulai memasuki usia balig. Adapun
haid dialami oleh anak perempuan. Mengenalkan anak tentang ihtilâm dan
haid tidak hanya sekadar untuk bisa memahami anak dari pendekatan
fisiologis dan psikologis semata. Jika terjadi ihtilâm dan haid, Islam
telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah
tersebut, antara lain kewajiban untuk melakukan mandi. Yang paling
penting, harus ditekankan bahwa kini mereka telah menjadi Muslim dan
Muslimah dewasa yang wajib terikat pada semua ketentuan syariah.
Artinya, mereka harus diarahkan menjadi manusia yang bertanggung jawab
atas hidupnya sebagai hamba Allah yang taat.
0 komentar:
Posting Komentar